Senin, 25 April 2011

Renung Sederhana



Kami adalah sepasang pengembara miskin bahagia yang berlalu-lalang di sepetak tanah subur nan riang. Terbang berlayang-layang memainkan benang bertarung melawan hidup, yang mungkin sangat membosankan bagi sebagian makhluk-makhluk disekitar kami. Berseri mencari jati menuju tempat-tempat indah menyusun puzzle dari gambaran diri. Bersama kebebasan menarikan jemari melarik gambaran imajinasi kepada kertas putih yang kami warnai dengan tinta kami masing-masing. Terkadang aku memanggilnya Darla dan seringlah aku menamainya Yank.

Kami seperti sepasang apatis yang tidak peduli dengan apa kata orang disuara mulut mereka. Seutas tali rapuh kesederhanaan dari jiwa-jiwa kami yang sederhana-lah yang mengikat kami. Asap gosong sepotong jagung bakar cukup mengenyangkan perut kami yang lapar dan sebuah pelukan cukup untuk menyirami jiwa-jiwa kami yang haus, walau terkadang salah satu dari kami terlalu haus.

Diawali oleh pijar cahaya hati yang berterbangan tepat diatas kepala. Berwarnakan pelangi didasar tahun, berwujud gejolak dari getaran ledakan kembang api yang menerangi bisu malam itu. Suara nyanyian terompet dengan nada dasarnya seolah menyambut kami mengawali tahun yang lalu. Kotak-kotak dan patung semu selayak membimbing dalam keserasian minat ketika kami berkunjung dalam sebuah ruang indah.

Bersama alunan lagu sebelas hari setelah tawa itu menyapa, tangan kami mulai mengayunkan satu pena bersama-sama, mengarang sebuah sinopsis, menyusun alur cerita, menggambar alunan perasaan yang terjadi, terbentuk menjadi sebuah komik khayalan. Bergambar bunga- bunga dari senyuman, meniupkan gelembung- gelembung sabun yang berterbangan diantara gurauan.

Setiap hari kami tempelkan bibir-bibir kami pada lembaran kertas cerita hidup. Simbol-simbol romansa selalu menyertai dimanapun kami berada, seolah kami tidak dapat dipisahkan oleh apapun. Keberadaan kami seperti bingkai yang terikat kepada ritual-ritual gigi seri. Peluknya, gurau tawanya, kecup lembut bibirnya, bau tubuhnya selalu terngiang-ngiang dalam lagu-lagu yang mengiringi perjalanan kami.

Seperti sepasang katak, terkadang dia meminta ku menggendongnya disebuah gang sempit tempat kami bercerita tentang mimpi. Memang terlihat kekanakan tapi entah kenapa aku sangat suka akan hal itu. Kedua tangannya memelukku erat, kedua kakinya menghimpitku dalam rasa yang tertawa ketika dia bertanya “beratkah tubuhku?”.dan kujawab “enteng..” Tubuhmu ringan sayang..cinta ini terlalu berat hingga berat badanmu tak terasa berat..” Kepala mungilnya bersandar dipundakku yang lebar, kakiku melangkah dan sampailah pada sepasang pintu rumah berwarna hijau muda.

Disetiap ruang jumpa, dia terlihat cantik apa adanya dia. Dan aku terlihat seperti apa aku, selama ini aku belum tahu. Permintaan kecil yang ia sampaikan, selalu membuatku bersemangat untuk mewujudkan. Guyonan dan ledekan yang lucu kadang membuatku terharu dan menyadarkanku betapa penting dirinya, betapa berharganya dan betapa lucunya kami. Dia pernah mengatakan tentang keinginan pergi ke Jepang untuk bertemu dengan tokoh-tokoh kartun Jepang kesayangan, keinginan itu mendesakku untuk berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat aku harus mewujudkan. Keinginan itu, pun membuka jalan pikiranku untuk lebih berpikir merajut masa depan dan keluar dari zona-zona nyaman yang tercipta dengan sendiri dari keseharian. Cita-citanya adalah menjadi orang kaya untuk membahagiakan keluarga dan seperti itu pula cita-cita dalam rintih miskin ku. Meskipun begitu, kami yakin esok tidak akan pernah dibutakan oleh kemewahan, karena kami menyayangi kesederhanaan yang kami ciptakan.

Berbulan di kebun bunga kucing. Konflik mulai bermunculan, sisi positif dan negatif dari setiap diri mulai tampak. Namun apalah artinya karena bagiku ia tak tergantikan dan tidak ada manusia di dunia yang terlahir sempurna selayak lagu nasib yang sering terdengar. Hari-hari kami di bulan selalu diwarnai tawa riuh canda dengan tarian ungu kucing-kucing lucu. Dia selalu menamai kucing baru-nya dengan sesuatu yang ia sukai dan aku selalu menyukai nama-nama itu meski terkadang sulit menghafal nama yang ia ciptakan. Afeksi yang ia berikan pada setiap kucing sering membuatku ingin cemburu, tapi sesosok inosen itu selalu muncul dari caranya menyayangi kucing-kucing tersebut, dan cemburu pun kurasa tak layak kutunjukkan dan tak pernah kurindangkan. Terkadang sosok itu juga, tiba-tiba muncul ketika ia bernyanyi, ketika ia meledek diriku, ketika ia berkelakar tentang animasi kesukaan kami dan cerita kesehariannya sebelum dia pergi bermimpi. Bunga-bunga indah bermekaran pada setiap bulan yang kami lalui, panas dan hujan menuntun pertautan tujuan melanda dua hati untuk bersatu padu berlarian mencapai tujuan.

Kemudian waktu berjalan seperti gemerisik jam pasir berulang-ulang mengulang segala remeh-temeh asik yang terurai makna. Langkah-langkah mulai tersusun rapi dalam pikirku. Bagiku ini adalah sebuah cawan indah melengkung berhiaskan ilusi yang setiap pagi menemani teh panas diujung kegelisahan. Asap mengepul hitam dalam dapur mulutku ketika suasana-ku sedang keruh, berjejalan memenuhi dada berselumbung dalam labirin tenggorokan. Kutuliskan namanya tiga kali dan munculah sosok bidadari badung diujung tatap mata. Dia tidak pernah mengeluhkan ketidak berdayaanku, seolah-olah tahu masalah yang kuhadapi, seolah seperti seorang cenayang yang membaca pikiranku. Dia seorang penyemangat lesu ku dengan canda dan ucap usapan sayangnya yang merambat lirih dihati.. Sampai kapan dan apa pun yang terjadi aku akan tetap menyayanginya.

Selama ini tawa dan tangis telah kami lalui bersama. Sampai pada satu tahun, seakan tak percaya gundah gulana melanda. Serentak gontai langkahku ketika aku belum benar tahu arti diriku dan seberapa besar pengaruhku kami benar-benar diuji oleh emosi serta ego kami yang manusiawi. Penglihatan akan hidup seperti dibutakan oleh sesuatu yang tidak dimengerti. Entah setan apa yang telah merasuki kami, hingga dengan sengaja dia membutakan mata hati pikiranku dengan cintanya yang luar biasa. Aku rasa ini semua bukan tentang sakit namun tentang pendewasaan, tentang pelajaran hidup dan aku mulai merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan.

“Sudahlah..”Sepertinya dia takkan kembali, mungkin selama ini aku hanya gurauan, mungkin dia tidak menghadirkan dirinya seutuhnya. Hanya saja ada satu pertanyaan yang belum sempat aku sampaikan kepadanya “Mungkinkah kita ada kesempatan untuk saling berjanji takkan terpisah selamanya?”. Dan jawaban dari pertanyaan itu tak pernah kudapatkan karena pertanyaan ini tak sempat terungkapkan oleh kata ketika kami bersama. Hanya aku yang bisa bertanya, mungkin dia tau jawabnya dan mungkin tidak.

“Hey darla..Aku hanya berusaha melupakanmu, ini caraku.. Maaf aku terlanjur menghadirkannya kepadamu, aku hanya berusaha mengambilnya untuk kuhadirkan kepada seseorang yang lebih pantas menerimanya, dan inilah caraku. Inilah sesuatu yang kupersembahkan, apa dan seberapa besar kau sendiri yang menilai..Inilah apa yang kupercayai, bahwa seperti halnya cita-cita, cinta sejati itu berawal dari usaha dan diri kita masing-masing. Ucapkanlah terima kasih hanya jika kau ingin, dan mengumpatlah hanya jika kau harus dan minta maaflah jika kau merasa bersalah.. Darla, kau bisa menjadi hebat jika kau inginkan hebat..Jadilah dirimu sendiri dengan menjadi yang terbaik kepada dan untuk semua yang kau miliki..”

Semua tentang kami akan tetap indah walaupun sekarang tak lagi bisa dirasakan, Setangkai mawar merah itu pergi menepikanku dalam kesunyian batin yang sebelumnya terasa terisi setengah oleh namanya. Entahlah, segala alasan seperti dibuat- buat. Aku tidak pernah mengerti dan tak lagi ingin mengerti. Ini hanya cerita pendek, bukan novel tebal seperti yang kuinginkan. Ini hanya ilusi masa lalu dari satu perspektif, sudut pandang mata malaikat cupid yang tidak lagi berpihak. Namun ini lebih dari sekedar imajinasi kata yang kurangkai, ini nyata dia nyata..ini sebuah cerita tentang kami. Dan sekali lagi cerita ini harus dituliskan ulang dari sudut pandangnya..Karena sebagian besar cerita ini hanya mungkan-mungkin, entahlah ndak tau lah, mbuhlah dan sebagainya..ha-ha-ha

Yogyakarta 11 Januari 2011

Benu Dharmo