Sabtu, 16 Mei 2009

Senyum Setengah Seringai




Sejengkal perjalanan semut angkrang..

Denyut hidung membaur hawa nafsu renungan nurani. Dentuman jantung bergema diruangan jari- jari lentik, menggetarkan ruang- ruang lain untuk kembali menepi. Dalam sebuah permainan yang memahaminya pun tidak ada anak- anak mami itu bisa. Berair, berbulu, berontak, berakal, saling membodohi dan bermimpilah saja untuk mengayuhku. Beberapa jam kemudian, Ramto mengayuh sepedanya menuju Toko Boneka di Jln. Senyum no.44, tepat didepan bioskop yang dulu pernah terbakar. Dibeli sebatang boneka monster tak kasat mata. Menyelinap diantara reruntuhan kebodohan bermasa depan cemerlang. "Hey..nak? apa kamu tak bosan hidup seperti ini?" Pak Heru menyapa Ramto yang membayar 3500/jam untuk boneka itu. Dengan nada bercanda"Maksud bapak apa?saya bersyukur sudah bisa makan tiap hari dan saya itu pekerja keras". "Hehe...gak ada maksud nak, cuman nanya doang kok...^^"sahut Pak Heru. Setelah jual beli berakhir, Ramto bergegas menuju ruang dimana sebuah pesan harus terkirim.

Dalam perjalanan, sempat ia menyapa teman lama. Keasikan ngobrol hingga lupa waktu sempit yang disediakan hampir habis. Apa saja yang mereka bicarakan dalam pertemuan itu hanya masa lalu. Saling bertukar rindu antara jauh dan sisa- sisa cengkerama yang masih melekat dipikiran masing- masing. "Kau ingat Pak Jiman guru Bahasa Indonesia SMP kita dulu?kabarnya beliau telah meninggal bulan lalu.." seru Bino mengabarkan kabar itu kepada Ramto di pinggiran sawah. " Oh ya!??duh..tak sempat kita minta maaf..sedih jika ingat masa lalu itu..T-T" ucap Ramto bersama suara- suara kodok. "Iya To, seandainya kita dulu lebih dewasa..".

Diantara kunang- kunang yang mulai bermunculan obrolan mereka berakhir dengan saling peluk bersalaman cipika- cipiki muah muahhh...Usluk- usluk, ceplok- ceplok ceprot.^^

Ada dua sayap hitam disisi sedel sepeda jengki Ramto, terbang mengayuh diatas mobil- mobil mewah yang menggerung- gerung sombong. Melewatkan begitu saja traffic light perempatan yang berpenjaga perut buncit kumis tebal bertopi coklat, "prriiiiiittttttttt.......!!", gubris-pun tak perlu dan terjadi pengejaran. Karena begitu lincah lihai cepat dan akurat, dua helikopter terpaksa ikut andil dalam pengejaran. Namun tak tertangkap sedikit pesan- pesan yang coba Ramto sampaikan kepada para pelaku kejahatan itu. Dirubuhkan sepedanya kemudian berlari sambil bersujud, tetap saja tak sampai pada posisi yang tepat dalam lingkaran kotak surat otak. Nenek sihir bersama sapu terbang 4-tak, 6 silinder, 2500cc menyalip Ramto yang sedang mengendap- endap bersama cerca makian anak- anak terlantar. Satu diantara mereka mendekat dan diambil beberapa lembar uang kembalian untuk anak itu. Suara kendaraan yang lalu lalang bersatu dengan nada musik penjual puthu dan roti, menambah kesunyian suasana semakin mendekap erat. "Haghaghag..."tawa itu melintas.

Awal yang indah, begitu riang biasa saja dan sedikit bumbu- bumbu gila, ketika bertemu dompet kosong di gang berwarna nila, menggerayangi menjelajahi, mengisinya dengan lembaran- lembaran cek kosong, uang receh dan kartu nama seseorang yang terkenal. Berlanjut dengan cerita pendek dua robot goblok melambai bersama niat baik seorang anak sederhana. Robot goblok biru berselisih dengan kawan robot goblok merah. Tak ada kesepahaman dan bertabrakan setiap kosakata besi, mengeluarkan percikan api serta asap- asap CO2. Terlalu banyak CO2, hingga pemanasan global kebakaran jenggot tak bisa terpadamkan oleh selusin mobil pemadam kebakaran milik Pemda setempat.

Karena kelelahan, Ramto memutuskan untuk mampir di warung makan lesehan nasi goreng sapi. Dikunyahlah dan ditelan nasi daging bersama telur dadar, tersedak setelah dia melihat teman SMA telah menggendong balita sekitar usia satu tahunan. "whuuhuk- uhuk!!kamu Lusi kan?!haduh..duh duh..kapan nikahnya oi? tak ada kabar kau!?" kaget agak pangling setelah anggukan Lusi berakhir. "Hehe..biasa To anak muda jaman sekarang, sekarang mah lagi trend To..". Selanjutnya bla- bla-bla-blo-bli-bla...kemruwek sampai keluar busa disudut mulut.

Temaram lesehan malam semakin hidup bersama obrolan mereka yang semakin panas karena mendung tebal. Tak ada suami disamping Lusi, katanya dia minggat setelah tahu Lusi sedang hamil, dan dia bersikukuh untuk melahirkan anak itu. Mantan calon suaminya dia temukan di diskotik, kejadian setelah beberapa bulan berada dilantai dansa yang sama menjadikan Lusi terbuai oleh surga- surga yang ada. "Sepertinya mau hujan, aku harus pergi mengantar pesan mendesak.."beberapa detik kemudian Ramto kembali lepas landas...

Ramto berjalan pelan membawa tameng baja. Akan tetapi tinju sang pelipur lara diterima mentah- mentah, bercaci maki kompleks tiada ujung. Saling meludahi muka, dan sempat ada sedikit celah namun tak berani Ramto ambil resiko. Menurunkan nilai- nilai yang dimiliki, menerjang setiap emosi membara untuk meredakan amarah seekor semut angkrang berparas unta. Bersahutan ikan- ikan memakan umpan yang ditebar dalam kolam- kolam cerca. Semua kata defensif, tak ada yang obyektif hingga tak ada pula titik temu, benang merah antara salah paham dan masalah selesai dengan putusnya tali setelah terlihat seorang teriris- iris lembut ingin menggantung diri dipohon jambu biji salak. "Harus..semua masalah harus selesai, entah apapun penyelesaiannya namun jalan terbaiknya adalah adil dan damai..."dan kata- kata itu selalu terucap dalam pikiran Ramto sepanjang kesalahan itu ia sadari. Mengetahui serta memastikan apa penyebab dan meyakinkan bahwa memang begitu.

"Woy..anjink!!sini- sini kukasih tulang bayi.."setangkai jari tengah tumbuh subur saat dia tahu apa dan kenapa. "Tai kau babi!!ini kutambahin keju dan daging.." tambah lagi jari tengah kedua kakinya. "apa!!kau minta juga tai-ku??!!" spontan tak dapat berdiri.."huh..harus kepada siapa aku mengeluh.."

Perjalanan berlanjut dan Prediksi tak meleset. Dalam hati yang bingung dia berucap "Kau mengerti aku hanya ingin bercanda..namun kau menanggapinya serius. Ketika aku serius dangan bercanda, kau tetap tak tahu jikalau aku sedang bersedih" tanpa nada dan ekspresi wajah, geram kalap muntap tanpa emosi. Selalu mengerti sesuatu yang dimata misterius, ditelinga bisikan, dihidung bau garam, diraba begitu halus mencekam suasana hening suka duka hidup berdampingan. Tuan ambigu menyapa, berwajah rata tanpa indera dan muka. Lalu beliau menuju toilet untuk buang air kecil."krucuk...krucukk.." suara air yang bertabrakan terdengar lirih dari kamar Ramto yang selalu sadar bahwa sesuatu yang berhubungan dengan indera dan akal pikiran dapat menggerakkan manusia untuk merasakan dan atau melakukan sesuatu.

"Yah..apalah, terserah...asal tak ada orang dekatku yang ikut menanggung utangku. Asal kau puas dan akupun sudah PUAS!!^^" Kembali kerumah, meneruskan dayung- dayung kapal yang sempat terhenti. Berpikir keras hingga kurus kering kerontang meradang entah sampai kapan. Cabut akar- akar jamur kulit itu atau lupakan saja..Jika saat itu aku harus berkata kotor, kata yang sempat terlintas adalah burung kecil bersuara nada kecil tinggi sekali. ********** E..hwehehe..

Triink!!..Tralala...Putih pucat menyinari sebulat bola yang menyoroti gelap kalapnya. Terlewatkan begitu saja, bukan tak menyadari itu dari dulu tapi ragu. Agar tercapai pertemuan namun kembali sudah dituankan belum bisa mengerti. Sepertinya butuh seabad lebih umur nyawa millenium ini. Gusi lebar bingkai seringai tuan penjahat kelas keledai. Duhai merasa bodohnya setelah mata hati, mata kaki, mata pencarian, mata hari, mata tangan, mata sapi dan mata- mata itu menemukan dirinya meremehkan dan meragukan senyuman setengah seringai. Sebuah persepsi psikologi jiwa raga yang sesungguhnya dirasa tak begitu terasa. Pernahlah detail gambaran tercipta sebelum sesat itu menimpa. Huh...Ramto tak menyesal tapi dia akan tertawa ngakak- ngakak menertawai dirinya sepanjang sisa hidup. Jika memang begitulah dia??

Cahaya- cahaya mata menawarkan gelap terang dari karya seni tingkat tinggi, bulu lentik bergoyang- goyang tertiup angin ribut. Entah tersesat dimana nurani?. Tak ada yang ditengah- tengah, menjadikannya lebih rumit. Bukan cacing ataupun umpan lain belum ditebar, tapi tidak ada yang berani dan atau sekedar mencernanya dengan perut kenyang. Mungkin terlalu kelaparan akan cahaya- cahaya hidup sesat, akan tanduk terang gemerlap lampu disko malam Minggu. Ramto kembali mengayuh sepeda menuju taman bermain, dengan perasaan kecewa dan sedikit hampa sia menyandarkan kepala kepada seseorang yang telah lama menunggunya. Untuk terakhir kali dia berucap maaf akan kelancangan yang dia lakukan dan tak ada buah yang jatuh dari segala sesuatu yang dilakukan hanya untuk kata itu. Sambil memeluk perut lapar dia berbisik "aku sudah melakukannya semampuku dan aku sadar akan merindukanmu...terima kasih atas segalanya dan sedikit waktumu telah membaca sepenggal cerita perjalanan semut angkrang ini. Sekali lagi terima kasih. Salam damai Indonesia..."^^ itu saja...

Mentari menyambut riuh tawa lepas, senja keemasan memeluk kuntum tidur peri- peri kecil. Jambu mete, ciplukan, talok dan murbei telah tersedia dimeja makan. Hidup menyusuri lumpur- lumpur hidup, berjalan tenang santai senang seraya menjunjung tinggi jiwa disisi- sisi kita. Ketika kita merencanakan sesuatu, hidup sedang berjalan merencanakan jebakan- jebakannya dan menggoreskan pelajarann kepada buku- buku yang kita baca.. "Sampai jumpa"

"Duduk Manis Bersama Semut Angkrang"
AnginRibut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar